Senin, 27 Desember 2010
ISLAM-MENG'ESAKAN ALLAH DAN MENYATUKAN UMMAT MANUSIA
Islam - MengEsakan
Allah dan Menyatukan
Ummat Manusia
Oleh: Dr. Jefry Lang
(dikutip dari Buku
karangan Jefry Lang yang
berjudul "Bahkan
Malaikat Pun Bertanya",
hal 218-221)
Sejak seseorang
bergabung dengan
komunitas muslim, baik
melalui kelahiran atau
konversi agama,
syahadat menjadi bagian
tak terpisahkan dari
kehidupan orang itu.
Syahadat selalu
dikumandangkan dalam
panggilan sholat, pada
awal acara-acara besar,
dibaca paling tidak
sembilan kali dalam
sholat lima waktu,
diserukan secara spontan
oleh kaum mukmin
dalam saat-saat gembira
atau terkagum-kagum,
dan dengan pelan
didesahkan oleh kaum
muslim sewaktu mereka
merenungkan kebesaran
dan keagungan Allah. Di
samping itu, syahadat
menjadi pernyataan gaya
hidup yang didasarkan
pada Al-Quran dan
ajaran-ajaran Nabi
Muhammad. Bagi kaum
muslim, Al-Quran adalah
Kalam Allah yang
diwahyukan, dan sunnah
Nabi (secara harfiah
sunnah berarti "jalan")
adalah Kalam allah yang
diterapkan secara sangat
sempurna. Ketika
'A'isyah, istri Nabi
Muhammad, ditanya
tentang akhlak Nabi
selama hidup beliau, ia
menjawab, "Akhlak Nabi
adalah Al-Quran."
Jawaban 'A'isyah
mengungkapkan dengan
sangat baik bagaimana
kaum muslim
memandang hubungan
antara kitab suci mereka
dan Rasulullah.
Syahadat adalah titik
awal kehidupan seorang
muslim, baik secara
harfiah maupun kiasan.
Ini aalah landasan yang
di atasnya berpijak
komunitas orang mukmin
dan juga sumber
persatuan dan kekuatan
mereka. Inilah batas
yang melindungi mereka
dan garis demarkasi yang
harus diseberangi bila
seseorang ingin
bergabung dengan
mereka.
Seperti mualaf lainnya,
saya tidak akan pernah
bisa melupakan syahadat
pertama saya. Kesaksian
itu merupakan momen
paling sulit tapi paling
membebaskan dan kuat
dalam hidup saya. Secara
berangsur-angsur, saya
menjadi lebih memahami
banyak implikasinya, dan
secara khusus saya mulai
mengerti bahwa
kesaksian itu
memaklumkan bukan
hanya KeEsaan Allah,
melainkan juga kesatuan
dan persamaan umat
manusia. Tentu saja,
temuan saya tentang hal
ini sama sekali tidak
orisinal (pengutip:
maksudnya bukan asli
konsep temuan atau
buatan pengarang buku).
Prinsip egalitarian ini
adalah tema yang sangat
menonjol dalam ajaran-
ajaran Islam sehingga
tidak mungkin
dihilangkan. Saya tidak
bermaksud mengatakan
bahwa setiap orang
muslim sangat siap untuk
mengartikulasikannya.
Akan tetapi, prinsip ini
dapat diamati dengan
jelas dalam tradisi dan
interaksi keagamaan
masyarakat muslim.
Karena itu, sama sekali
tidak mengejutkan bila
ajaran ini menjadi salah
satu hal yang pertama
kali menarik Malcolm X
dalam perjalanan ibadah
hajinya ke Mekkah. Ia
menulis,
"Selama sepekan
terakhir, saya betul-
betul tidak bisa berucap
sepatah kata pun dan
terpesona oleh
keanggunan yang
ditampakkan di
sekeliling saya oleh
manusa dari seluruh suku
bangsa...
Anda boleh jadi terkejut
mendengar kata-kata ini
keluar dari saya. Tetapi,
dalam perjalanan haji ini,
apa yang telah saya lihat
dan alami memaksa saya
untuk menata ulang
sebagian besar pola
pemikiran yang
sebelumnya saya pegang,
dan membuang beberapa
konklusi sebelumnya ...
Barangkali jika orang-
orang kulit putih
Amerika bisa menerima
KeEsaan Allah, mungkin
juga mereka bisa
menerima dalam
kenyataannya kesatuan
umat manusia - dan
berhenti mengukur,
menghalangi, dan
mencelakakan orang lain
karena "perbedaan"
warna kulit mereka....
Setiap jam di tanah suci
memungkinkan saya
memperoleh
pengetahuan spiritual
yang semakin besar
tentang apa yang sedang
terjadi di Amerika antara
orang-orang kulit hitam
dan orang-orang kulit
putih."
Di sini, saya tidak
menyatakan bahwa Islam
menghapuskan
prasangka-prasangka
suku dan warna kulit.
Klaim di atas lebih
mengesankan bahwa
Islam menghapuskan
kejahatan. Sebaliknya,
saya ingin menegaskan
bahwa Islam tidak
mentoleransi prasangka-
prasangka semacam itu
dan bahwa ketika kaum
muslim
menampakkannya,
mereka sadar betul
bahwa mereka
melanggar ajaran yang
fundamental dalam
agama mereka dan
melakukan sebuah
kesalahan yang serius.
Dari semua agama besar
di dunia, saya yakin
bahwa tidak ada agama
yang lebih berhasil dalam
memerangi prasangka
ras selain Islam. Saya
telah melihat
pertunjukan kekuatan
Islam dalam hal ini, yang
sangat bersifat pribadi
dan membangkitkan
semangat, beberapa
minggu setelah saya
menjadi seorang muslim.
......
Waktu itu ada pengajian
yang diorganisasi oleh
para mahasiswa muslim
University of San
Fransisco. Pembicara
malam itu adalah Abdul
Aleem Musa, yang waktu
itu adalah imam Mesjid
an-Nur di Oaklan,
California. Ia
menuturkan
perjalanannya memeluk
Islam, yang dimulai saat
ia bergabung dengan
geralan Nation of Islam
pada tahun enam
puluhan dan ia kemudian
beralih ke Islam otentik
pada tahun tujuh
puluhan. Orang-orang
muslim Amerika
keturunan Afrika Oaklan
yang menyertainya dari
Oaklan menunjukkan
reaksi mereka atas
ceramahnya bahwa jalan
mereka menuju Islam
sangat mirip dengan
jalan Aleem.
Secara fisik, Abdul Aleem
adalah seorang yang
mengesankan. Ia
kelihatan seolah-olah
mampu bermain dengan
ketat hingga akhir babak
dalam permainan "San
Fransisco Forty-Niners."
Ia sangat pandai dan
cerdas, dan tentu saja
bukan tipe orang yang
bisa diremehkan. Dalam
perjalanan menuju
pengajian itu, beberapa
mahasiswa memberitahu
saya bahwa Abdul Aleem
dulunya adalah anggota
kelompok Black Panthers
dan mantan narapidana.
Saya biasanya
mencurigai kabar angin
seperti ini. Akan tetapi,
dari pembicaraannya,
saya merasa bahwa,
paling tidak, ia memiliki
masa lalu yang kelabu.
Sekalipun demikian,
kebijaksanaan kata-
katanya dan ketenangan
yang kini
diperlihatkannya
membuat saya merasa
bahwa ia telah
menemukan kedamaian
batin melalui
keimanannya.
Ketika saya
mendengarkan Abdul
Aleem, saya teringat
masa-masa remaja saya
dan brutalitas perang ras
yang mengerikan antara
lingkungan tetangga
saya dengan para
pemuda kulit hitam
seperti dirinya, dari
daerah kumuh yang
berdekatan. Saya
membayangkan betapa
berbahayanya ia waktu
itu sebagai musuh - tipe
musuh yang setiap orang
berusaha sebaik mungkin
tidak melihatnya ketika
ia memasuki wilayah
Anda. Serentak saya
merasa terinspirasi dan
terancam, tersentuh
tetapi juga bingung.
Seluruh refleks dan rasa
takut masa lalu yang
saya pikir sudah lama
saya tinggalkan di
Bridgeport, Connecticut,
kini kembali lagi datang
kepada saya.
Pertanyaan pertama
yang diajukan kepada
Abdul Aleem ketika ia
telah menyelesaikan
ceramahnya berasal dari
seorang mahasiswa Arab:
"Apalah Islam telah
benar-benar mengubah
hidup Anda?"
Pertanyaan itu mungkin
biasa-biasa aja, tetapi
rupanya menyinggung
masa lalunya yang
kelabu. Paling tidak,
itulah penafsiran saya
dan, tampaknya,
demikian juga perasaan
Abdul Aleem.
"Anda tidak tahu, berapa
kali sudah saya ditanya
tentang soal yang sama,"
ia menghela nafas,
sambil menggelengkan
kepalanya hampir tidak
percaya. "Orang tidak
mengira bahwa hal itu
benar-benar bisa terjadi,
bahwasanya Anda bisa
mengubah hidup Anda."
Ia berbicara pelan-pelan,
mengukur kata-katanya,
berusaha keras
menguasai
kebanggaannya yang
terluka. Kemudian,
dengan nada suara
rendah yang
memperlihatkan rasa
frustasi memuncak, ia
berkata, "Orang sungguh
tidak percaya pada
kekuatan Islam."
Hadirin menjadi tegang
dan menahan nafas,
mengantisipasi luapan
emosi yang dapat terjadi
sewaktu-waktu. Mata
Abdul Aleem menyelidik
ruangan, seolah-olah ia
sedang mencari-cari
orang yang mungkin bisa
memahami atau
membuktikan
pandangannya. Tiba-tiba
ia menatap Grant,
seorang mualaf kulit
putih Amerika lain yang
duduk di sebelah kiri
saya. Kejadian
berikutnya yang saya
tahu adalah: ia menunjuk
kami berdua.
Ia berseru, hampir
berteriak, "Fakta bahwa
ada orang-orang kulit
putih seperti mereka ini,
duduk di sini dengan
orang kulit hitam seperti
kami, sebagai saudara -
SAUDARA!!! - ketika
sepuluh tahun lalu kami
saling berbunuh-bunuhan
di jalanan, menunjukkan
kepada Anda sekalian
betapa Islam dapat
mengubah hidup!"
Seakan-akan ia dapat
membaca pikiran saya.
Grant dan saya adalah
dari generasi yang sama
dengan Abdul Aleem, dan
raut wajah Grant
mengatakan kepada saya
bahwa ia dapat mengerti
apa yang baru saja
diucapkan oleh Abdul
Aleem. Setelah acara itu
selesai, Abdul Aleem
berjalan menghampiri
kami berdua dan
menyalami kami dengan
tersenyum ramah dan
dengan apa yang saya
katakan "pelukan
rangkat tiga Islam."
Itulah awal dari suatu
hubungan yang amat
penting bagi saya. Abdul
Aleem menjadi sahabat
dekat dan mentor saya,
serta membantu saya
menangani banyak
jebakan dan kendala
yang bisa mengancam
keikhlasan seorang
pendatang baru dalam
Islam.
Ketika saya berjumpa
Abdul Aleem, saya baru
saja memeluk Islam dan
masih memerlukan
banyak waktu untuk
mendalami ajaran-ajaran
Islam. Akan tetapi,
malam itu, saya banyak
belajar tentang
egalitarianisme Islam.
Dan saya belajar lebih
banyak dari Abdul Aleem
dalam bulan-bulan dan
tahun-tahun berikutnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar